HER (Part 3)

HER.

Genre  : Drama, Crime, Hurt/Comfort.

Rating : NC-17

Cast     : Got7, Redvelvet.

 

Part 3 – Present

I didn’t meet her. Aku melihatnya tapi tidak menemuinya.

Tiga hari berlalu tanpa keberanian. Setiap harinya aku mengutuk diri, mengingatkan diri sendiri bahwa menghindari Wendy merupakan hal terbodoh yang kulakukan. Jika Jackson tahu ia pasti akan menertawaiku-atau bahkan menghajarku.

Aku mulai mempertanyakan keadaan psikologiku ketika Sabtu datang. It was a sunny day, dan kuharap aku bisa membahas Wendy dengan seseorang.

Which was why i called Joy five minutes ago.

Joy dan Wendy berada dalam satu lingkar yang sama semasa Sekolah Menengah Atas – dan berdasarkan penglihatanku, keduanya bersama dua hari lalu. Yang berarti Joy dan Wendy masih berteman dalam lingkar yang sama. Kuharap aku tak salah.

Lagipula, mengobrol dengan Joy tentang Wendy adalah pilihan aman. Joy tahu semuanya. Tentangku dan tentang Wendy. She was my girlfriend and Wendy’s bestfriend when the tragedy happened. Jadi, tak heran jika ia tahu lebih dalam tentang kejadian itu, Wendy mungkin menceritakan bagiannya.

Aku meraih kunciku dan membuka pintu kemudi mobil. Kukatakan pada Joy aku menjemputnya dan kemudian bicara. Joy tidak menolak. Sudah lama ia dan aku tidak bicara di luar berdua. Jikalau bukan karena Wendy, aku mungkin tidak akan melalukan hal ini.

Tapi, kini aku harus melakulannya atau aku akan gila.

Beberapa menit kemudian aku menemukan diriku berada di halaman rumah Joy. Rasanya aneh berada di tempat yang biasanya merupakan keseharanku, kini bukan lagi pengisi hariku. Joy dan aku berkencan selama empat bulan sebelum akhirnya aku memutuskan hubungan kami seminggu setelah tragedi itu. Pada dasarnya, fokusku pada Joy menghilang setelah kejadian itu. Wendy menggantikan Joy dengan mudahnya.

Aku tidak bisa menyakiti Joy, she deserves better. Jadi, aku mengakhiri hubungan kami.

Kini, berdiri di depan pintu rumah Joy, aku mempertanyakan keputusanku. Apakah membicarakan Wendy dengan Joy adalah keputusan yang benar? Is this goint to hurt her? Will she understand? Benakku penuh dengan keraguan.

Namun, sesuatu yang tidak kupikirkan terjadi: Mrs. Park membukakan pintu. Well, now it’s awkward. Aku benar-benar tidak memperkirakan kehadiran orang tua Joy setelah hubungan kami berakhir.

“Mark! Son!” sapa Mrs. Park seraya memelukku. Aku membalas pelukannya kaku sambil balik menyapanya. “Sudah lama sekali tidak melihatmu! Ayo, masuk!”

Aku ingin menolak, sungguh. Tapi, wanita di depanku adalah Mrs. Park, ibu dari mantan kekasihku – meskipun aku dan Joy sudah tidak bersama, aku tidak ingin memberikan kesan buruk pada keluarga Joy. We broke up in a good way dan aku berharap aku dan Joy tetap mempertahankan hubungan pertemanan kami.

“Joy’s upstairs, di kamarnya. Kau mau menunggunya di sini atau menyusul ke atas?” tanya Mrs. Park ketika ia berhenti menuntunku ke ruang tengah. Paling tidak sejauh ini aku tidak melihat Mr. Park.

Aku menggeleng cepat. “Aku tunggu di sini saja, ma’am,” jawabku. Tidak ada alasan untuk menyusul Joy ke kamarnya. That would be inappropriate.

Mrs. Park mengangguk. “Well, kalau begitu kau bisa menemaniku.”

Dan di sinilah aku dan beberapa menit ke depannya, menjadi pendengar yang baik untuk Mrs. Park. Ia menceritakan berbagai hal: mulai dari keluhannya pada anjing tetangga yang selalu membuang kotoran di halamannya hingga tips meracik teh kesenangannya. Aku tidak keberatan. Mendengarkan Mrs. Park mengalihkan pikiranku dari Wendy dan berbagai pertanyaan sekitar Wendy yang akan kulontarkan nanti. Untuk saat ini, aku menikmati waktuku dengan Mrs. Park.

Joy turun beberapa menit kemudian, terlihat luar biasa dengan penampilannya. Ia menyapaku sejenak sebelum akhirnya beralih pada ibunya. “Aku pergi sebentar, beritahu Ayah jika ia pulang.”

Mrs. Park mengangguk, lalu menuntun kami ke luar pintu. “Hati-hati Joy,” katanya melihat Joy memasuki mobil. Dan padaku, ia berkata, “Perlalukan Joy dengan baik Mark,” yang mendapat anggukan pasti dariku.

Joy, di sisi lain, tersenyum di tempatnya. Ia terlihat antusias untuk sesuatu yang tidak ia ketahui – aku hanya bilang aku perlu bicara dengannya. Ia bahkan tidak tahu ke mana aku akan membawanya.

So,” kataku memulai percakapan. “Ibumu terlihat menerimaku dengan baik,” aku mengangkat bahu tanpa melirik Joy. “Kau tahu, dengan berakhirnya hubungan kita.”

Joy berdecak di tempatnya. Aku meliriknya, menemukan Joy menatapku heran. “Come on, Mark, hubungan kita berakhir setahun yang lalu,” katanya mengutarakan fakta. “Orang tuaku sudah menerima fakta bahwa kau dan aku tidak akan kembali bersama. Kau tahu itu.”

Meskipun rasanya salah, aku mengangguk. Tidak ada untungnya mengulur jawaban, tidak bagiku dan tidak bagi Joy. “Aku seharusnya mengatakan ini dari awal, thank you for meeting me, Joy. Aku tahu itu tidak mudah.”

“Oh, jangan khawatir. Aku melakukannya demi Wendy.”

She knew, pikirku langsung. Joy tahu alasanku menemuinya – wait, ia tidak akan marah padaku, ‘kan?

Aku menghela napas. “Jika saja aku tidak terlibat, aku tidak perlu melibatkanmu juga, Joy.”

“Aku senang bisa membantu, Mark,” aku melirik Joy. “Kau dan Wendy, kalian berhak bebas dari tragedi itu.”

Seandainya aku bisa terbebaskan, aku akan sangat berterima kasih – bahkan menganggap kebebasan tersebut sebagai utang yang diberikan padaku. Sayangnya, kebebasan tidak semudah yang kumau. Aku harus membayar sesuatu untuk mendapatkannya.

“Omong-omong, Mark, ke mana kau membawaku?” tanya Joy.

Aku tidak begitu pintar menentukan tempat. Tapi, ketika aku melihat Joy, aku teringat prinsip pertemanan Joy dan Wendy: jangan pergi ke rumah laki-laki jika rumah itu kosong. Jadi, hal pertama yang terbesit di benakku adalah membawa Joy ke tempat yang ramai. Precaution, aku teringat alasan Wendy.

Aku menatap Joy ketika lampu lalu lintas menayangkan warna merah. “Kupikir aku bisa membawamu ke O’Mally,” kataku menyarankan salah satu tempat ice cream terbaik di Brockville. Selalu ramai tentunya.

Joy mengangguk. “Okay.”

*

Joy menatapku, tatapan yang sama saat kami masih berkencan. Aku tahu arti tatapan itu – aku mengenalnya dengan sangat baik – seketika menerimanya: ia berusaha menenangkanku dari apapun itu yang mengganggu pikiranku. Joy mengenalku dengan baik dan aku bersyukur dengan hal itu.

Spill it, Mark,” kata Joy beberapa menit kemudian. “Apapun itu yang ingin kau tanyakan, katakan, atau bahkan sarankan, keluarkan semuanya. Menundanya tidak akan melegakanmu.”

Aku berdeham canggung. “Aku tidak tahu harus memulai dari mana.” Kemudian, ragu-ragu aku bertanya, “Bagaimana Wendy?”

Wendy’s fine. Jika tidak, maka jawabannya ia mencoba untuk bersikap baik-baik saja. Dia berusaha hidup normal.”

Did she ever talked about me? Kau tahu, setelah ia kembali.”

Joy menyuap ice creamnya. “Sejauh ini belum,” jawabnya. “Sepengetahuanku, atau tepatnya di hadapanku, ia tidak pernah membicarakanmu.”

Alisku terangkat. “Apa maksudmu di hadapanmu? Dia membicarakanku. .”

I think it was with Jackson,” Aku menatap Joy yang memasang wajah ragu-ragu. “Aku tidak tahu siapa yang memulai, tapi aku mendengar Wendy menyebut namamu. Sekali.”

Fakta bahwa Wendy menyebut namaku mengartikan banyak hal. Satu yang paling menonjol adalah fakta bahwa ia mengingatku. Jika ia mengingatku, maka ia ingat bahwa ia tidak melalui tragedi itu sendiri. Jika ia mengingatku, ia mungkin bisa membantuku keluar dari jebakan yang kubuat sendiri.

Besides, Joy bilang Wendy kembali karena ia ingin kembali normal. Jika Wendy bisa kembali normal, mungkin aku juga bisa. Aku hanya butuh bantuan. And fuck people, aku butuh bantuan.

“Apa saranmu, Joy?” kataku langsung pada intinya. Aku sadar aku terdengar putus asa, bahkan terkadang aku merasa sangat putus asa. Aku butuh bantuan dan jika Joy bisa membantuku, aku akan menerimanya.

Joy mengangkat bahunya sambil kembali menyeruput ice creamnya. “Aku tidak pernah bilang aku punya solusi, Mark.”

“Bukan solusi,” kataku cepat. “Apapun itu yang kau pikir bisa membantu. Beritahu aku.”

Joy menghela napas. “Aku tidak yakin apa yang membuatmu berpikir aku memikirkan sesuatu. This is your problem, Mark. Tentu aku ingin membantu,” Joy menatapku lembut. Aku tahu ia berusaha tidak menyakitiku dengan perkataannya. “Tapi kau tidak perlu bantuanku. Kau butuh tekat, Mark. You need to face the problem.”

“Aku menemui karena aku ingin menghadapi masalah ini, Joy.”

No, you don’t,” sela Joy cepat. “Kau menemuiku karena kau ingin bicara. Aku tidak menolak, sungguh. Kau memang perlu bicara. Tentangmu dan tentang Wendy.”

Aku menghela napas. “Apa yang ingin kau katakan, Joy?”

“Kau mungkin tidak tahu, tapi ketika Wendy pertama kali menghubungiku dan yang lainnya. Ia tidak membicarakanmu, Mark. Wendy hanya bilang kalau ia sudah kembali dan ia ingin menjalani hidupnya dengan normal. She talked about what she want in the future.

So we help her,” lanjut Joy. “Aku dan yang lainnya, kami berusaha memberikan apa yang ia inginkan. Oh, aku penasaran dengan apa yang ia lalui setahun lalu, tapi aku tidak memaksanya, Mark.  Kami semua tidak memaksanya.”

Aku tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Hal-hal yang diceritakan Joy terdengar sangat pribadi. Aku tahu aku tidak seharusnya tahu, tapi entah mengapa, menjadi seseorang yang tahu sesuatu menenangkanku.

I also want to be normal. To feel normal.

And God help me, Mark. Jika kau ingin membicarakan masalahmu, kau bisa mengatakan semuanya. Kau cukup mengenalku untuk tahu bahwa aku tidak akan menghakimimu, Mark,” suara Joy meninggi. “Tapi kau tidak tertarik dengan hal itu, Mark.”

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Sudah kubilang aku tidak tahu dari mana memulainya.”

Oh, ini berbeda,” ucap Joy. “Kau tidak tertarik berbicara tentangmu. Kau hanya tertarik berbicara tentang Wendy.”

Kupikir aku akan terkejut, tapi aku menemukan diriku berusaha menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Joy berpikir aku ingin membicarakan diriku, ia pikir aku memiliki masalah dengan psikologiku atau semacamnya. Tsk, kalau sudah seperti ini, seharusnya aku memperjelas tujuanku dengannya.

“Kau tidak butuh aku jika kau tertarik bicara tentang Wendy. Kau butuh Wendy.”

Well, kuharap aku bisa memberitahu Joy kalau aku sudah memikirkan hal yang sama dengannya. Sayangnya, hingga saat ini, aku tidak cukup berani untuk menemui Wendy.

Which is why i called her to come by.”

Mataku terbuka lebar, kemudian mengerjap. Mulutku terbuka berusaha mengatakan sesuatu namun tertahan. Aku tidak salah dengar, ‘kan?

Yes, Mark. Kau tidak salah dengar,” kata Joy seakan-akan membaca pikiranku. “Aku memintanya untuk datang ketika kau memberitahuku soal O’Mally. She’ll be here in any minutes now.”

Shit.

Aku benar-benar tidak memperkirakan hal ini. Joy memang mempesona – pretty and sexy – tapi terkadang gadis itu membawaku pada hal-hal tak terduga yang tidak bisa kuantisipasi.

Shit. Apa yang harus kulakukan? Menyapanya casual? Fuck casual, aku bahkan tidak yakin aku dan Wendy berada dalam zona nyaman untuk saling menyapa. Apa lagi yang bisa kulakukan? Kabur? Tapi aku datang bersama Joy! Aku bertanggungjawab untuk mengantarnya pulang!

Joy, masih menempati kursi di hadapanku, menatapku terhibur. Gadis itu bahkan tidak menyembunyikan kesenangannya ketika melihatku bingung. “Kau tahu, Mark. Mungkin kau bisa memulainya dengan ‘hey Wendy’.”

What?! Hey Wendy?” kataku cukup keras dan penuh ketidakpercayaan. Aku berharap bantuan, bukan kejutan. Joy benar-benar tidak membantu. Aku menatap Joy, berharap gadis itu menjelaskan gurauannya ketika suara lain datang dari arah belakang.

Hey, Mark,” katanya.

*

tbc

 

Leave a comment