HER (Part 5)

HER.

Genre  : Drama, Crime, Hurt/Comfort.

Rating : NC-17

Cast     : Got7, Redvelvet.

 

Part 5 – Present

Kuharap aku bisa mengantisipasi momen ini. Atau mungkin sekedar tahu bahwa aku akan menemui Wendy dalam waktu kurang dari lima menit – kuharap aku mempersiapkan diri.

Somehow, she has that kind of power in me.

Elemen mengejutkan yang membuatku membeku di tempat. Tidak tahu harus bersikap seperti apa—bahkan aku masih belum bisa merespon ‘hey Mark’ darinya. Aku benar-benar kaku. Kehilangan kendali diri. Sebagian dari diriku yang tersadar berpikir: apa ini yang dirasakan seseorang ketika mati?

Wendy masih berdiri di belakangku dan tubuhku masih membelakanginya, meskipun bagian atas tubuhku berputar untuk sekedar memandangnya dalam diam.

“Wendy, come here,” suara Joy memecahkan kecanggunganku. Mengalihkan Wendy dari kesunyian yang kuciptakan. Aku bertemu dengan Joy untuk membicarakan ketidakberanianku menemui Wendy, bukan untuk menerima kejutan berupa Wendy di saat aku berada di titik bawah.

Aku bisa mendengar Jackson merendahkan harga diriku. You’re a coward dan kalimat-kalimat rendahan lainnya keluar dari mulut Jackson dan menghantuiku. Tapi, tidak peduli seberapa kasarnya kalimat itu, aku masih tidak berani—kalimat seperti itu bagaikan omong kosong yang dikeluarkan Jackson tanpa tahu artinya.

Jackson would never know how i feel. Tidak ketika tragedi itu terjadi, ketika Wendy menghilang, dan pastinya tidak ketika Wendy kembali dan berhadapan denganku.

“Kau masih belum menjawab sapaanku, Mark,” adalah kalimat lain yang keluar dari mulut Wendy. Suaranya terdengar sama dengan gadis yang kukenal bertahun-tahun lalu.

Aku menghela napas kecil dan memasang senyum, berharap Wendy dan Joy tidak merasakan keterpaksaanku. “Oh yeah, hey, Wendy,” kataku canggung.

Fancy seeing you here, Mark.”

Kuharap aku bisa mengatakan hal yang sama, but no shit—aku tidak ingin menemuinya. “Sure,” balasku berbohong.

Joy mengatakan sesuatu tentang ice cream yang mengalihkan perhatian Wendy dariku. Aku bersyukur, meskipun tidak sepenuhnya. Untuk beberapa menit berikutnya Joy dan Wendy mengobrol seakan-akan aku tidak berada di sini—bersama mereka. Keduanya terlihat normal—no tragedy, no bad memories—kecuali keberadaanku di antara mereka.

Sebelumnya, keberadaanku di tengah-tengah pertemanan mereka bukanlah suatu hal yang aneh. Joy was my girlfriend dan aku menghormati teman-teman Joy—aku menghargai hidup yang Joy pilih.

But, it wasn’t just Wendy. Atau hanya Irene, Yeri, Seulgi. It was always five of them. Bersama dan tidak terpisahkan. Kelimanya biasa membicarakan hal-hal aneh yang tidak kumengerti dan beberapa yang kumengerti. Aku ingat bagaimana mereka berusaha menerimaku ketika kelimanya sedang bersama. I bet it was hard, but they did it.

And i was so grateful. Even now.

So Wendy, Mark ingin menanyakan sesuatu padamu,” Joy mengalihkanku. Ia juga mengejutkanku. Aku tidak tahu kalau aku memiliki pertanyaan.

Aku mengangguk canggung. Pertanyaan tidak akan membunuhku. Now, apa yang bisa kutanyakan? “Bagaimana kabarmu?” kataku membodohi diri sendiri.

Bagaimana pertanyaan tersebut keluar dari mulutku benar-benar tak terduga. It was an easy question, tapi merupakan pertanyaan bodoh. Lagipula siapa yang berusaha kubodohi? Wendy? Joy? Pada akhirnya aku hanya memperlukan diri sendiri dengan pertanyaan bodoh seperti itu.

Wendy tertawa kecil. “I’m good—atau setidaknya berusaha baik-baik saja. Bagaimana kabarmu, Mark?”

Harus kuakui, aku cukup terkejut mendengar jawabannya dan caranya menjawab. Wendy terdengar santai untuk seseorang yang melalui tragedi besar. “Good, i guess. Sibuk dengan kelas.”

Oh yeah? Kupikir kau sudah akan lulus, Mark,” katanya sarkastik. Aku tidak bisa menebak Wendy. Apakah ia berusaha mengurangi kecanggunganku atau ia benar-benar sudah melupakan tragedi itu?

Aku menggeleng. “Masih ada satu tahun lagi sebelum kelulusanku,” atau setidaknya kuharap begitu. Setelah semester ini berakhir, dua semester berikutnya adalah tahun di mana aku mempersiapkan kelulusanku.

Well, must be good. Apa rencanamu setelah lulus?”

Meninggalkan Brockville. “Aku tidak tahu,” kataku memendam apa yang kupikirkan. “Work, getting a job, hal-hal klasik.”

Wendy mengangguk menerima jawabanku. Sementara di sisi lain, aku masih tidak paham dengan apa yang terjadi di hadapanku. Kami—Wendy dan aku—saling bicara. Normal tapi juga tidak normal. Aku melirik Joy, gadis itu sibuk dengan ponselnya dan tidak memperhatikan apa yang terjadi di depannya. Kalau sudah begini, aku tidak bisa lari, ‘kan?

“Bagaimana denganmu?” kataku berusaha tidak kehilangan momenku. “You’re back in Brockville, apa rencanamu ke depannya?”

“Aku?” Wendy menunjuk dirinya. “Oh, kau tahu, mengulang kelas dan mengambil kelas yang belum kuambil. Klasik, sama sepertimu. After all, aku melewati dua semester.”

Aku tahu, pikirku. Aku mempertanyakan keberadaannya dalam satu tahun tanpa berani menyuarakannya. Jika aku bisa mempertanyakan hal yang ingin kuketahui, maka aku tidak akan menanyakan rencananya. Aku akan menanyakan satu tahun terakhirnya. Mulai dari di mana ia tinggal hingga kegiatannya sehari-hari.

But, i think i’ve already said that i was a coward. Aku tidak memiliki keberanian.

Right,” responku singkat.

Wendy hanya tersenyum sebelum melirik Joy dan mengambil perhatiannya. Kemudian Joy menunjukkan sesuatu di ponselnya pada Wendy dan gadis itu terkejut. Ia bertanya seriously yang dijawab Joy dengan anggukan. Wendy yang masih tidak percaya berkata no way dan kemudian mendapat penjelasan dari Joy. Sebuah penjelasan yang cukup panjang.

Aku menonton keduanya. Merasakan kenormalan yang datang dari keduanya.

Mungkin Wendy benar-benar sudah melupakan tragedi yang terjadi padanya. Atau gadis itu memiliki alasan lain untuk kembali ke Brockville. Mungkin Wendy benar-benar ingin kembali normal—kembali menjadi dirinya yang sebelumnya.

So, if she’s really planning to do that, apa yang akan terjadi padaku?

Apakah ini artinya aku harus melupakan semuanya? Kembali menjalani hari-hari tanpa kesadaran bahwa sesuatu yang besar terjadi dan mengubah pandanganku?

Can i do that?

Hey, Mark,” panggil Joy. “Wendy’s here. Might as well ask what you want.”

Aku tahu aku seharusnya memanfaatkan kesempatan ini, tapi sebagian dari diriku tidak ingin menghancurkan kenormalan yang dipancarkan Wendy. Aku tidak ingin mengungkit kenangan buruk dan mempersulit keadaan. Aku tidak ingin menjadi tokoh antagonis dalam kehidupannya.

Memaksakan senyum, aku menatap keduanya. “Aku tahu.”

*

tbc

 

Leave a comment