History (Chapter 5)

HISTORY.

Genre  : Romance–Mystery.

Rating : NC-17

Cast     : Kim Jong In–other cast as showing.

Part 5

Hari semakin malam ketika Jong In keluar dari perkarangan rumah Tae Min.

Setelah berjalan melintasi beberapa blok, matanya pun menangkap mobil HyunA. Di depan mobil tersebut, HyunA berdiri dengan punggung menghadap Jong In. Gadis itu tidak sendirian. Jong In menyadari tubuh lainnya yang berdiri menghadap HyunA.

HyunA memutar tubuhnya, menatap Jong In dengan dengan ekspresi yang tidak dikenali Jong In. Hal ini cukup membuat Jong In bertanya-tanya, seperti apa HyunA yang sebenarnya.

“Masuk dan tunggu aku di dalam mobil.” Ucap HyunA tanpa berbasa-basi.

Jong In tidak punya pilihan. Sebenarnya, keinginan untuk lari—atau melaporkan semua kejadian pada pihak yang lebih berwenang—merupakan cara terbaik untuk bebas, tapi Jong In tidak melakukannya. Sebagian dari dirinya tidak ingin melakukan hal tersebut.

Tak ada yang bisa Ia lakukan di dalam mobil. Selama menunggu, Ia memperhatikan HyunA dan gadis lainnya—Jong In mengetahuinya setelah berada dalam mobil—berbicara dengan raut wajah serius. Kening HyunA bahkan berkerut untuk beberapa saat, kemudian tergantikan dengan wajah datar; tidak berekspresi.

Gadis lainnya menjulurkan tangannya, memberikan sesuatu yang terlihat seperti lembaran kertas pada HyunA. Jong In mempertajam pandangannya. Andaikan saja Ia mendapat penerangan yang cukup, Ia mungkin dapat mengetahui isi lembaran tersebut.

Beberapa detik berikutnya, Jong In mendengar pintu di kursi kemudi terbuka. HyunA menempati kursinya, meletakkan beberapa lembaran tersebut ke dalam saku jaketnya sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil.

“Kau meninggalkan gadis tersebut?” tanya Jong In ketika HyunA mulai menjalankan mobil, meninggalkan gadis lainnya mematung di tempatnya.

HyunA tidak menjawab. Entah karena terlalu fokus dengan jalan di depannya atau karena suara Jong In yang terlalu pelan.

“Park HyunA.” Panggil Jong In perlahan. Berusaha mengendalikan emosi di depan HyunA.

HyunA masih tidak menjawab. Jong In menarik nafasnya. Bersabar bukan hobinya. “Kau harus menjawab pertanyaanku, HyunA.” Katanya. “Setidaknya satu pertanyaan.”

“Park HyunA, lebih baik kau hentikan mobilnya.”

“Dengar, sebelumnya aku melakukan perintahmu, sekarang sebaiknya kau lakukan yang kukatakan.”

“Park HyunA—”

“Berhenti bicara.” Ucap HyunA sambil memukul kemudi. Jong In bisa menebak tingkat emosi yang ditahan gadis itu.

Tapi Jong In tidak berhenti. Ia sudah lelah mendengarkan perintah dari seorang gadis yang bahkan tidak Ia kenal. “Beri aku satu alasan kenapa aku harus berhenti bicara.” Jong In menatap HyunA. “Kenapa aku harus diam ketika seseorang berusaha menculikku—”

“Kita kerumahmu!” teriak HyunA, memotong perkataan Jong In. “Berhenti bertanya karena kita tak punya banyak waktu.”

Jong In mematung. Sementara matanya memperhatikan HyunA, otaknya berusaha memutar perkataan gadis itu. “Kita?” ujarnya ketika berhasil mengingat.

“Ya, kita.” Jawab HyunA. Pandangannya masih pada jalan. “Kau dan aku, kita punya dua jam sebelum pesawat terakhir lepas landas.” Jong In membuka mulut, tak sempat bicara ketika HyunA menambahkan. “Oh, kau tidak akan mengacaukannya Kim Jong In.”

Mengacaukan? Bagi Jong In, kata tersebut tidaklah layak digunakan untuk seseorang yang menjadi korban. Ia, Kim Jong In, merupakan korban. Sejak awal, Ia tidak berpartisipasi dalam permainan—apapun itu yang dilakukan HyunA—dan tidak akan berpartisipasi. Rencana awalnya adalah menyelamatkan Tae Min. Bukan menjadi bagian dari permainan HyunA.

“Kau tidak serius dengan perkataanmu, kan?” Oh ayolah, Kim Jong In kau yang tidak serius dengan pertanyaanmu.

HyunA menarik nafas dan membuangnya, menoleh untuk yang pertama kalinya pada Jong In. “Jika kau ingin bermain-main denganku, maka simpan saja untuk esok karena aku tidak akan menunda penerbangan ini.”

“Kau ingin aku pergi dengan tenang denganmu?” tanya Jong In, setengah tidak-percaya dengan gadis di sampingnya.

HyunA mengangguk. Terlihat jelas dari caranya menjawab pertanyaan Jong In bahwa Ia tidak ingin terlibat dalam suatu percakapan.

“Kau tahu, aku bisa melapor polisi.” Jong In mendapati dirinya mengancam HyunA. Penuh keberanian. Sementara yang di ancam hanya tertawa kecil.

Apa ancaman Jong In terdengar seperti lelucon?

“Kim Jong In.” Panggil HyunA perlahan. Meskipun suaranya tak seserius sebelumnya, Jong In masih merasa tak aman.

“Apa?” tanggap Jong In, berusaha terdengar santai.

HyunA menoleh, tersenyum menatap Jong In. “Kau benar-benar tidak tahu apa yang akan kau hadapi.”

*

Jadi, yang dimaksud dengan sesuatu-yang-akan-Jong-In-hadapi merupakan keluarganya sendiri. Kini, Ia dan HyunA berdiri di depan rumah keluarga Kim, menunggu waktu yang tepat untuk masuk dan berkemas.

Atau mungkin Ia tidak akan berkemas.

Fakta bahwa HyunA berada di sampingnya dan menunggunya untuk mengambil gerakan awal, tidak membantu sedikitpun. Ia tidak bisa lari. Tidak dengan HyunA—yang berbeda—mengawasi gerak-geriknya.

“Jong In–ah.”

Oh Jong In tahu panggilan itu. HyunA biasa menggunakannya ketika Ia tersenyum atau merasa gembira. Hanya saja, kali ini panggilan itu terdengar berbeda. Terdengar seperti ancaman.

“Jangan hanya berdiam diri,” HyunA menghela napas, menyentuh pundak Jong In. “Masuk lewat jendela, jangan sampai membuat keributan.”

Berbicara mengenai jendela, Jong In tidak mengerti point dari mengendap-endap. Terlebih jika rumah tersebut merupakan miliknya—rumah keluarganya. Kenapa Ia harus mengendap seperti maling?

Sejujurnya Jong In memiliki kunci rumah tersendiri. Ini tidak seperti pertama kalinya Jong In pulang larut malam dan terkunci di luar rumah. Jika hal itu terjadi, Ia—dengan kuncinya—akan masuk dan mendapati seisi rumah gelap dan sunyi. Hal yang biasa.

“Tidak bisakah kita masuk melalui pintu utama?” tanya Jong In. Ia mengeluarkan kunci di saku dan menunjukkannya pada HyunA. “Aku membawa kunci rumah.”

Oh Tidak.” HyunA merebut kunci dari tangan Jong In. “Kau tidak akan masuk melalui pintu.” Katanya serius. “Tidak dengan kamar orangtuamu yang berjarak kurang dari dua meter dari pintu utama.”

Jong In menatap HyunA terbelalak. HyunA dengan rencananya kini terasa biasa. Tapi HyunA dengan pengetahuannya, itu sesuatu yang tidak-bisa-dipercaya. Bukan karena gadis itu pintar atau semacamnya, hanya saja Jong In menyadari HyunA yang mempelajari sesuatu yang seharusnya tidak dipelajari.

Lagipula HyunA tak pernah ke rumahnya. Bagaimana bisa gadis itu tahu?

“Berhenti dengan tatapanmu.” Ucap HyunA mengalihkan konsentrasi keduanya. “Kau bisa memanjat—aku yakin setiap lelaki bisa. Jadi, panjat dan masuklah ke kamarmu untuk berkemas.”

“Kau akan menunggu?” Jong In mendapati dirinya berharap HyunA menjawab ya. Tapi, bertolak belakang dengan harapannya, HyunA tertawa kecil.

Jong In tak perlu penjelasan dari tawa HyunA. Ia yakin kini HyunA menganggapnya sebagai lelaki terbodoh yang pernah ditemui HyunA—Oh, Jong In benar-benar tidak peduli. HyunA bisa menganggapnya apa saja.

Butuh beberapa menit sebelum Jong In memulai pergerakannya. Selama itu pula Ia menatap rumahnya sedetail mungkin, mencoba mencari cara atau alat yang bisa membantunya sampai pada jendela kamarnya. Sementara Ia membuat rencana, HyunA di sebelahnya, dengan senang hati memberikan beberapa pelajaran.

“Memanjatlah.” Kata HyunA setelah bosan dengan pelajarannya. “Sudah cukup menatapnya, cepat panjat!” tambahnya setengah berteriak.

Sebenarnya menyenangkan melihat HyunA yang berteriak karena kesal. Tapi terkadang, kekesalan gadis itu membuat Jong In merasa takut. Ia tidak tahu mengapa—dan Ia tidak ingin bertanya. HyunA yang sekarang bersamanya tidak seperti HyunA yang bersama dirinya dan teman-temannya.

Dengan strategi demi strategi yang dimiliki gadis itu, pengetahuan yang terbilang tidak penting namun mengejutkan, dan mata yang mengamati secara tajam—Jong In sadar bahwa HyunA yang Ia kenal sebelumnya bukanlah HyunA yang sebenarnya.

Dan mungkin, dengan penculikan yang dilakukan HyunA atas dirinya—dan harapan agar Ia dapat pulang selamat—Ia bisa mengenal HyunA.

*

Butuh usuaha yang keras untuk mencapai jendela kamarnya. Dengan sedikit bantuan—komentar, teriakan, cemohan—Jong In berhasil menapakkan kakinya di atas lantai kamarnya.

Ia berniat untuk keluar dari kamar dan menemui keluarganya ketika suara HyunA terdengar dari arah jendelanya. Gadis itu tidak bercanda ketika Ia menyuruh Jong In memanjat. Dengan waktu jauh lebih cepat dibanding Jong In, HyunA sudah berada di kamar laki-laki itu.

Langsung saja Jong In mengurungkan niatnya dan segera mengepakkan barang, sedangkan HyunA berdiri mengamati gerak-geriknya.

Dalam pekerjaannya Jong In memikirkan barang-barang yang mungkin bisa membantunya kabur. Tapi dengan tatapan elang HyunA, Jong In merasa mustahil untuk memasukkan sembarang barang ke dalam tasnya.

“Tinggalkan ponselmu, jangan berfikir untuk meninggalkan jejak.” Kata HyunA ditengah pengamatannya.

Jong In tidak bisa menolak. Ia melempar ponselnya sembarang tempat, kemudian menyelempangkan tasnya di kedua bahu. Ia menatap HyunA, menunggu aba-aba dari gadis itu.

“Kau bisa meninggalkan pesan.” kata HyunA perlahan. Kemudian menambahkan. “Jika kau mau.”

Jong In menatap heran gadis di depannya. Bukankah ini tindakan penculikan? Kenapa HyunA menyarankan meninggalkan surat?

Seolah-olah bisa membaca fikirannya, HyunA menjelaskan. “Katakan apa yang ingin kau katakan. Buat semuanya senatural mungkin, aku tak ingin orangtuamu melapor polisi karena tindakan penculikan.”

“Bukankah itu akan memutar keadaan?” tanya Jong In bingung. “Bukankah mereka akan semakin curiga?”

“Tidak jika kau melakukannya senatural mungkin.”

Jong In tak lagi bertanya. Ia meninggalkan pesan di draft ponselnya, meminta kedua orangtuanya untuk tidak mencarinya sementara Ia melakukan sesuatu yang menjadi impiannya—sebuah kebohongan besar.

Setelah itu keduanya bergegas pergi. Kembali melewati jalur yang sama—kali ini Jong In berhasil lebih cepat—menuju mobil HyunA.

Tepat sebelum HyunA memasuki mobil, Jong In menghentikannya. “Apa?” tanya HyunA cepat.

Jong In sendiri tak ingin berbasa-basi, oleh karena itu sesegera saja Ia bertanya. “Kenapa kau ingin mereka menyadari kepergianku?”

HyunA menghela napas. “Kita sudah membicarakan hal itu sebelumnya.”

“Aku ingin jawaban sejatimu.” Pinta Jong In. “Bukan segudang alasan yang berhubungan dengan rencana gilamu.”

Butuh beberapa waktu untuk memperoleh respon dari HyunA. Jong In tak tahu, apa gadis itu tengah membuat alasan lainnya atau Ia hanya ragu untuk mengatakan alasan sejatinya. Namun ketika HyunA bicara, Jong In tahu gadis itu bersungguh-sungguh.

“Karena aku tak ingin mereka merasakan kesedihan yang mendalam ketika mereka tahu kau tak bahagia.”

*

Perjalanan menuju bandara menempuh waktu yang cukup lama. Entah karena suasana canggung antar Jong In dan HyunA atau memang lokasi yang cukup jauh.

Setelah pengakuan tak terduga dari HyunA, Jong In tak tahu harus berkata seperti apa atau bagaimana cara memulai percakapan tanpa mengingat setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu. Selain itu, HyunA juga tak berkomentar.

Jika Ia boleh berkata jujur, maka Ia akan mengaku sedikit terkejut mendengar pengakuan HyunA. Dalam hitungan jam, banyak pemikiran negatif mengenai jati diri HyunA yang terbesit di pikiran Jong In. Tidak terlintas olehnya bahwa HyunA peduli—sangat peduli dengan kekeluargaan.

Persetanan dengan perasaan, Jong In bahkan hampir tak sadar tentang sisi kemanusiaan HyunA.

Jauh dalam benaknya, berbagai jenis pertanyaan muncul satu-per-satu. Menunggu giliran untuk di lontarkan. Pertanyaan seperti: Apa yang terjadi dengan HyunA? Gadis seperti apa sebenarnya Dia? Rahasia apalagi yang disimpan gadis itu?

Dan dari bebagai pertanyaan itu, yang terpenting saat ini: Apa yang sedang difikirkan gadis itu?

Butuh beberapa menit lainnya sebelum mobil yang keduanya tumpangi berhenti tepat di lapangan parkir bandara. Jong In melihat sekelilingnya, menemukan beberapa mobil lain yang tak berpenghuni. Kemudian matanya menyapu lorong bandara, tidak menemukan siapapun di sana kecuali penjaga dan cleaning service.

Apa mungkin masih ada penerbangan? Pikir Jong In.

HyunA keluar dari mobil beberapa detik berikutnya. Beralih membuka bagasi mobil dan meraih tas berwarna merah. Jong In tak yakin kapan tepatnya HyunA meletakkan tas itu di sana, gadis itu bahkan tidak sempat berkemas.

“Ikut aku.” Ucap HyunA tiba-tiba, membuyarkan Jong In dari pemikirannya.

HyunA berjalan di depan Jong In, cukup cepat untuk seorang wanita. Namun Jong In tak protes. Hal terakhir yang ingin di dengarnya adalah teriakan kesal HyunA padanya.

Jadi, ketika HyunA berjalan lebih cepat menuju sektor penerbangan luar, Jong In menghentikan langkahnya. “Kita keluar negri?” katanya cukup keras.

HyunA berhenti di tempatnya, memutar tubuh dan menatap Jong In seraya membuang nafas. Lelah terlihat jelas di wajahnya. “Ya.” katanya singkat. Jong In membuka mulut untuk membantah namun terpotong ketika HyunA menarik nafas panjang dan berkata, “Simpan pertanyaanmu Kim Jong In, kita benar-benar kehabisan waktu.”

Kita?” Jong In mendapati dirinya bertanya, atau tepatnya Ia merasa perlu memastikan pendengarannya. Dan ketika HyunA tidak membantah Ia menambahkan. “Aku bahkan tak mengenalmu, HyunA—Tunggu, apa itu palsu? Apa kau benar-benar Park HyunA yang kukenal sebelumnya?” tanyanya penuh amarah. “Permainan apa yang sedang kau mainkan, aku tak peduli.

“Kita sudah membahas ini sebelumnya.”

Jong In tertawa hambar, semakin tidak percaya dengan gadis di depannya. “Dan tepatnya kapan kau menjelaskan semuanya, Park HyunA?”

HyunA tidak langsung menjawab. Jong In bisa tahu gadis itu tidak memiliki jawaban. Lagipula, seperti apapun bentuknya, Jong In tak tertarik dengan jawabannya.

“Apa yang bisa kau katakan, HyunA?” tanya Jong In, kehilangan kesabarannya.

Dengan tatapan HyunA yang terarah padanya, Jong In bisa merasakan aura di sekitar gadis itu. Dan hal yang tidak bisa ia percaya adalah bagaimana gadis itu berhasil mempertahankan ketenangannya. Jika itu Jong In, Ia mungkin sudah melakukan paksaan.

Seperti bisa membaca pikirannya, HyunA menyuarakan. “Jangan membuatku memaksamu, Kim Jong In.” Katanya tenang.

Jong In tak peduli. Ia sudah memikirkan konsekuensi terburuk yang mungkin terjadi padanya. Dan jika Ia diharuskan mati, maka Ia yakin semua memang rencana Sang Pencipta.

Namun sepertinya pemikiran itu berubah ketika tangan HyunA bergerak menuju punggungnya. Jong In bisa menebak pergerakan itu, Ia tahu pasti jenis barang apa dan masalah apa yang bisa diciptakan alat itu. Tapi, HyunA tidak mungkin menggunakannya di tempat umum, bukan?

Lagi, untuk yang ke—entah keberapa—kalinya, persetanan dengan tempat umum, HyunA mengeluarkan senjatanya, mengarahkannya pada Jong In.

Dengan pistol di tangannya, Ia berkata. “Jalan atau kau tertidur selamanya.” Ucap HyunA. Singkat, padat, dan jelas.

Butuh beberapa detik sebelum menyadari apa yang sedang di hadapinya. Seorang wanita. Yang entah darimana datangnya, bersandiwara hanya untuk mendapatkan sebuah pin, kemudian memaksanya untuk pergi meninggalkan kehidupannya. Segalanya berubah untuk Jong In.

Dan Ia sadar satu hal, dalam hitungan detik, dunia benar-benar bisa berubah.

Pilihan Jong In? Ia terdiam sejenak, berharap ada yang menghentikan HyunA. Namun nihil, tak ada yang memperhatikan keduanya.

Jong In melangkahkan kakinya, merasa tak punya pilihan. Jika HyunA berani mengeluarkan pistol di tempat umum, gadis itu mungkin juga berani membunuhnya di tempat umum.

*

tbc

Leave a comment